Rabu, 20 Juni 2012

* Anugerah disepenggal episode



Episode perjalan kehidupanku tak terasa sudah pada titik jenuh, dimana waktuku bukan tuk menikmati indahnya mentari dan terangnya rembulan. Aku tak sadar dan tak pernah kuperkirakan jika inilah waktuku untuk lebih menjadi seseorang. Ya, seorang yang setahun silam  menyandang gelar sarjana seni dari sebuah sekolah seni ternama di Petsburg London. Aku yang baru saja merasa terlahir kedunia, sekarang harus dihadapkan pada permasalahan yang menyangkut masa depanku.
“keluarganya sudah mendesak bunda. Bagaimana jawabanmu nak?”


Pertanyaan itu begitu mudah, tapi menjawabnya seakan biji salak mengendap ditenggorokanku, sehingga sulit suara ini keluar dari kerongkonganku. Bunda memang tak memaksaku untuk menerima pinangannya, hanya saja jawaban dariku bagai ultimatum untuk menentukan semua.
Bening halus ini tak kuasa untuk tidak mengalir dalam muwajjahah malamku. Malam yang seharusnya kugunakan untuk bercinta dengan-Nya, terpaksa menjadi tempatku berkeluh kesah atas hijab yang masih Ia tutup rapat dariku. Aku pun tak memahamai bagaimana Allah memberikan jodoh kepada hamba-Nya. Yang ku baca firman-Nya, “wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”* . Dan aku?

“Bunda yakin dia akan bisa membawamu ke jalan yang selalu kau impikan anakku. Dia akan menjadi suami sekaligus gurumu. Dia hafal Al-Qur’an, paham agama”. Tegas bunda lagi mendeskripsikan sosok yang sudah hampir 2 minggu ini memaksa kaset memoriku untuk kembali berputar pada 15 tahun silam.
“Dia dulu kan sahabat masa kecilmu, namun ia lebih memilih tetap berada dipesantren daripada menerima tawaran bunda untuk meneruskan kuliyah di London bersamamu.” Bunda meyakinkanku.
“Tapi mia sudah mencintai orang lain bunda..” rengek ku.
“tapi mia tidak tahu siapa dia, mia tidak bisa melacak dimana keberadaannya. Sudahlah mia, dia hanya ada dalam imajinasi mia, tidak nyata nak.” Tegas bunda.

Sekalipun bunda tidak pernah memaksaku untuk menerimana pinangannya, terlihat jelas dari bening mata bunda jika sosok itu benar-benar telah mengambil hatinya. Ah, aku hanya mengingat namanya, pun hanya nama panggilan akrabnya.
 “Aku akan pindah sekolah ya’.” suaranya mengagetkanku.
“Ha?? Pindah? Kemana pung?” setengah menahan kaget aku bertanya balik.
“Umi akan mengirimku ke pesantren.” Jawabnya. Terlihat raut yang sulit kupahami dari wajah tirusnya. Wajah yang teduh di usianya yang masih seumur jagung. 

Dan kepindahannya yang tiba-tiba membuatku tak bisa menerka apa yang sedang kurasakan. Yang jelas, aku kehilangan teman bermain, teman berbagi cerita, teman mengeja huruf-huruf hijaiyah dan belajar tata cara shalat. Yang ku tau waktu itu, ipung adalah sahabat kecil sekaligus guru bagiku. Ya guru. Seperti yang telah ditegaskan oleh bunda, bahwa sosok itu akan menjadi guru untuk menuntun jalanku yang bisa dibilang sudah terjerat oleh semak belukar. Namun bening ini menetes lagi kala ku ingat, siapa diriku?
“Apa bunda yakin dia akan bisa menerima mia dengan segala kekurangan mia?” tanyaku.
“Bunda yakin dia akan menerimamu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu nak.” Jawab bunda disertai dengan bulir-bulir bening yang menggenang dipelupuk matanya.
Ah bunda.. selalu saja membesarkan hatiku.
“Siapakah sosok itu? Kenapa hanya hitam. Aku tak dapat menangkap sosoknya dengan sempurna. Atau lebih tepatnya dengan mata telanjang. Dia terlalu bercahaya. Namun kenapa aku ingin menggapainya. Aku ingin masuk dalam cahaya itu. Cahaya apa itu?”
“Kenapa kau hanya diam. Rengkuhlah cahaya ini bersamaku. InsyaAllah aku akan mengulurkan tanganmu mia.” Sosok itu berbicara seakan dia sudah mengenalku lama, jauh sebelum aku benar-benar tersadar saat kurasakan sentuhan tangan bunda mengelus keningku.

“Kamu demam mia?” tanya bunda.
Aku kaget dengan pertanyaan bunda. “Demam? Mia tidak merasa demam bunda.” Jawabku setengah sadar dari alam mimpiku.
“Badanmu panas nak. Kamu demam. Bunda akan panggilkan dokter.” Bunda segera beranjak, namun kurengkuh tubuhnya. Kupeluk erat, dan tumpahlah segala yang menyesakkan dadaku.
“Jangan bunda!! Mia mohon...” Aku semakin erat memeluk bunda.
Bunda yang menangkap maksudku makin mendekapku, mencoba menyalurkan energi untuk mengurangi bebanku.
“Mia Cuma butuh bunda, bukan dokter.” Air mataku semakin berhamburan, berkejaran dengan suara hujan yang mengguyur diluar sana.

“Bunda yakin dia bisa menerimamu apa adanya nak. Dia berbeda dengan mereka-mereka yang telah menghancurkan masa depanmu.” Isak bunda yang meskipun begitu suaranya masih terdengar tenang dan menguatkanku.
“Apa yang bisa mia berikan di sisa hidup mia bunda? Mia sudah tak punya apa-apa yang dapat mia berikan padanya.” Tanyaku disela tangisku yang memburu.
“Abdikan dirimu padanya mia. Jadilah motifator dalam setiap langkahnya. Jadikan masa lalumu pelajaran yang berharga.” Tegas bunda.
“Tapi mia tidak akan bisa memberikan dia keturunan bunda!! Anugerah yang terbesar dalam sebuah bingkai pernikahan.” Mataku nanar menatap mata teduh bunda.
“Allah, sutradara yang tidak bisa ditebak skenarionya mia!!” pernyataan bunda begitu menyentakku. Tegas namun bukan bentakan. 

Benar, aku tidak bisa menebak apa yang mungkin ditakdirkan oleh-Nya. Aku hanya terlalu takut untuk menatap masa depanku. Kanker ini memang kelalaianku. Aku dulu yang terbius dengan gemerlap duniaku. Namun kanker ini juga merupakan hidayah Allah bagiku. Untukku yang benar-benar harus kembali kepada-Nya, mengahadapkan sujud dan pasrah ini hanya untuk-Nya.

**

Sayu kudengar beberapa kalimat yang membuat tulang persendianku seakan lepas satu-persatu.
Qabiltu nikaahaha wa Tazwijaha Mia Ashfa Salsabila binti H. M. Idrus Ramli bilmahril Madzkuur haalan.
Tumpahlah air mata yang sudah berdesakan dipelupuk mataku. Kupeluk bunda erat sambil berbisik pelan,
“mia sudah menikah bunda..., mia sudah mencintainya. Allah memberikannya untuk mia.” Ucapku sambil terisak menahan bahagia.

Abdullah, aku mengenalnya setahun belakangan ini dari dunia maya. Entah kekuatan darimana yang membuatku mengurai semua masa laluku kepadanya, hingga hilang rasa maluku. Seakan dia adalah sebagian diriku yang lain, yang sepenggal episode hidupku dia juga melaluinya. Dan aku jatuh cinta padanya, dari caranya menghargai kejujuranku, dari caranya menanggapi cerita masa laluku, sekalipun aku tak tau seperti apa sosoknya. Ya, aku mencintainya. Yang ternyata adalah Abdullah Saiful Fathan, yang saat ini telah sah menjadi suamiku. Ah, bodohnya diriku. 

Aku benar-benar tak menduga jalan hidupku. Memang benar kata bunda bahwa Allah adalah sutradara yang tidak bisa ditebak jalan skenarionya. Hal ini menjadi satu pelajaran bagiku, bahwa hidup tak perlu ditakuti. Ditubuhku memang bersarang satu penyakit yang bisa merampas anugerah terbesar dalam hidupku. Namun kenyataannya, Allah memberiku 2 anugerah sekaligus, Annisa Nazhifa El-Nozha dan M. Arrizal Kavka El-Nozha.

***

* QS. An-Nur : 26

 * By. Habsy El-Tsaury
Malang, 19 Juni 2012
12:30 pm

2 komentar: