Episode
perjalan kehidupanku tak terasa sudah pada titik jenuh, dimana waktuku bukan
tuk menikmati indahnya mentari dan terangnya rembulan. Aku tak sadar dan tak
pernah kuperkirakan jika inilah waktuku untuk lebih menjadi seseorang. Ya,
seorang yang setahun silam menyandang
gelar sarjana seni dari sebuah sekolah seni ternama di Petsburg London. Aku
yang baru saja merasa terlahir kedunia, sekarang harus dihadapkan pada permasalahan
yang menyangkut masa depanku.
“keluarganya sudah mendesak bunda. Bagaimana
jawabanmu nak?”
Pertanyaan
itu begitu mudah, tapi menjawabnya seakan biji salak mengendap ditenggorokanku,
sehingga sulit suara ini keluar dari kerongkonganku. Bunda memang tak memaksaku
untuk menerima pinangannya, hanya saja jawaban dariku bagai ultimatum untuk
menentukan semua.
Bening
halus ini tak kuasa untuk tidak mengalir dalam muwajjahah malamku. Malam yang
seharusnya kugunakan untuk bercinta dengan-Nya, terpaksa menjadi tempatku
berkeluh kesah atas hijab yang masih Ia tutup rapat dariku. Aku pun tak
memahamai bagaimana Allah memberikan jodoh kepada hamba-Nya. Yang ku baca
firman-Nya, “wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”* . Dan
aku?
“Bunda yakin dia akan bisa membawamu ke jalan
yang selalu kau impikan anakku. Dia akan menjadi suami sekaligus gurumu. Dia
hafal Al-Qur’an, paham agama”. Tegas bunda lagi mendeskripsikan sosok yang
sudah hampir 2 minggu ini memaksa kaset memoriku untuk kembali berputar pada 15
tahun silam.
“Dia dulu kan sahabat masa kecilmu, namun ia
lebih memilih tetap berada dipesantren daripada menerima tawaran bunda untuk
meneruskan kuliyah di London bersamamu.” Bunda meyakinkanku.
“Tapi mia sudah mencintai orang lain bunda..”
rengek ku.
“tapi mia tidak tahu siapa dia, mia tidak bisa
melacak dimana keberadaannya. Sudahlah mia, dia hanya ada dalam imajinasi mia,
tidak nyata nak.” Tegas bunda.
Sekalipun
bunda tidak pernah memaksaku untuk menerimana pinangannya, terlihat jelas dari
bening mata bunda jika sosok itu benar-benar telah mengambil hatinya. Ah, aku
hanya mengingat namanya, pun hanya nama panggilan akrabnya.
“Aku
akan pindah sekolah ya’.” suaranya mengagetkanku.
“Ha?? Pindah? Kemana pung?” setengah menahan
kaget aku bertanya balik.
“Umi akan mengirimku ke pesantren.” Jawabnya.
Terlihat raut yang sulit kupahami dari wajah tirusnya. Wajah yang teduh di
usianya yang masih seumur jagung.
Dan kepindahannya
yang tiba-tiba membuatku tak bisa menerka apa yang sedang kurasakan. Yang
jelas, aku kehilangan teman bermain, teman berbagi cerita, teman mengeja
huruf-huruf hijaiyah dan belajar tata cara shalat. Yang ku tau waktu itu, ipung
adalah sahabat kecil sekaligus guru bagiku. Ya guru. Seperti yang telah
ditegaskan oleh bunda, bahwa sosok itu akan menjadi guru untuk menuntun jalanku
yang bisa dibilang sudah terjerat oleh semak belukar. Namun bening ini menetes
lagi kala ku ingat, siapa diriku?
“Apa bunda yakin dia akan bisa menerima mia
dengan segala kekurangan mia?” tanyaku.
“Bunda yakin dia akan menerimamu dengan segala
kekurangan dan kelebihanmu nak.” Jawab bunda disertai dengan bulir-bulir bening
yang menggenang dipelupuk matanya.
Ah bunda.. selalu saja membesarkan hatiku.
“Siapakah sosok itu? Kenapa hanya hitam. Aku
tak dapat menangkap sosoknya dengan sempurna. Atau lebih tepatnya dengan mata
telanjang. Dia terlalu bercahaya. Namun kenapa aku ingin menggapainya. Aku
ingin masuk dalam cahaya itu. Cahaya apa itu?”
“Kenapa kau hanya diam. Rengkuhlah cahaya ini
bersamaku. InsyaAllah aku akan mengulurkan tanganmu mia.” Sosok itu berbicara
seakan dia sudah mengenalku lama, jauh sebelum aku benar-benar tersadar saat
kurasakan sentuhan tangan bunda mengelus keningku.
“Kamu demam mia?” tanya bunda.
Aku kaget dengan pertanyaan bunda. “Demam? Mia
tidak merasa demam bunda.” Jawabku setengah sadar dari alam mimpiku.
“Badanmu panas nak. Kamu demam. Bunda akan
panggilkan dokter.” Bunda segera beranjak, namun kurengkuh tubuhnya. Kupeluk
erat, dan tumpahlah segala yang menyesakkan dadaku.
“Jangan bunda!! Mia mohon...” Aku semakin erat
memeluk bunda.
Bunda
yang menangkap maksudku makin mendekapku, mencoba menyalurkan energi untuk
mengurangi bebanku.
“Mia Cuma butuh bunda, bukan dokter.” Air
mataku semakin berhamburan, berkejaran dengan suara hujan yang mengguyur diluar
sana.
“Bunda yakin dia bisa menerimamu apa adanya
nak. Dia berbeda dengan mereka-mereka yang telah menghancurkan masa depanmu.”
Isak bunda yang meskipun begitu suaranya masih terdengar tenang dan
menguatkanku.
“Apa yang bisa mia berikan di sisa hidup mia
bunda? Mia sudah tak punya apa-apa yang dapat mia berikan padanya.” Tanyaku
disela tangisku yang memburu.
“Abdikan dirimu padanya mia. Jadilah motifator
dalam setiap langkahnya. Jadikan masa lalumu pelajaran yang berharga.” Tegas
bunda.
“Tapi mia tidak akan bisa memberikan dia
keturunan bunda!! Anugerah yang terbesar dalam sebuah bingkai pernikahan.”
Mataku nanar menatap mata teduh bunda.
“Allah, sutradara yang tidak bisa ditebak
skenarionya mia!!” pernyataan bunda begitu menyentakku. Tegas namun bukan
bentakan.
Benar,
aku tidak bisa menebak apa yang mungkin ditakdirkan oleh-Nya. Aku hanya terlalu
takut untuk menatap masa depanku. Kanker ini memang kelalaianku. Aku dulu yang
terbius dengan gemerlap duniaku. Namun kanker ini juga merupakan hidayah Allah
bagiku. Untukku yang benar-benar harus kembali kepada-Nya, mengahadapkan sujud
dan pasrah ini hanya untuk-Nya.
**
Sayu kudengar
beberapa kalimat yang membuat tulang persendianku seakan lepas satu-persatu.
“Qabiltu nikaahaha wa Tazwijaha Mia
Ashfa Salsabila binti H. M. Idrus Ramli bilmahril Madzkuur haalan.”
Tumpahlah
air mata yang sudah berdesakan dipelupuk mataku. Kupeluk bunda erat sambil
berbisik pelan,
“mia sudah menikah bunda..., mia sudah
mencintainya. Allah memberikannya untuk mia.” Ucapku sambil terisak menahan
bahagia.
Abdullah,
aku mengenalnya setahun belakangan ini dari dunia maya. Entah kekuatan darimana
yang membuatku mengurai semua masa laluku kepadanya, hingga hilang rasa maluku.
Seakan dia adalah sebagian diriku yang lain, yang sepenggal episode hidupku dia
juga melaluinya. Dan aku jatuh cinta padanya, dari caranya menghargai
kejujuranku, dari caranya menanggapi cerita masa laluku, sekalipun aku tak tau
seperti apa sosoknya. Ya, aku mencintainya. Yang ternyata adalah Abdullah
Saiful Fathan, yang saat ini telah sah menjadi suamiku. Ah, bodohnya diriku.
Aku
benar-benar tak menduga jalan hidupku. Memang benar kata bunda bahwa Allah adalah
sutradara yang tidak bisa ditebak jalan skenarionya. Hal ini menjadi satu
pelajaran bagiku, bahwa hidup tak perlu ditakuti. Ditubuhku memang bersarang
satu penyakit yang bisa merampas anugerah terbesar dalam hidupku. Namun
kenyataannya, Allah memberiku 2 anugerah sekaligus, Annisa Nazhifa El-Nozha dan
M. Arrizal Kavka El-Nozha.
***
*
QS. An-Nur : 26
* By. Habsy El-Tsaury
Malang,
19 Juni 2012
12:30
pm
izin berblogwalking.. :)
BalasHapusmonggo...terimakasih sudah berkunjung.
Hapus